24.6.06

asumsi

Saya lagi menghadapi masalah finansial. saya lagi nggak punya duit. Saya pikir itu bukanlah suatu dosa, selama saya masih mencarinya dengan cara yang benar. Tapi entahlah, ketika saya bicara jujur demikian, orang s lalu menganggap saya bercanda, basa basi, atau dengan bahasa yang sedikit ekstrim, saya bohong. Okelah, saya anggap itu wajar. orang mungkin melihat saya, orang kantoran, udah kepala bagian, kerjanya dari pagi kadang (sering) pulang sampai tengah malam. Wah, banyak dong lemburannya, mungkin itu pikiran mereka. Gitu bilang gak punya duit....
Saya tidak akan memaksakan orang untuk percaya, dan tidak membuang energi untuk sekedar membuat orang percaya. Saya pikir arang akan maklum kalau 'sesekali' jadi pelit.

Namun ada beberapa situasi yang kadang di luar dugaan. Saat gempa kemaren, sebenernya pengen sedikit menyisihkan sedikit rizki buat para korban. Namun justru kondisi dirumah sendiri kurang begitu kondusif. Aku masih beranggapan bahwa tanggung jawab utamaku, ya keluargaku, anak istriku. Setelah itu baru untuk sesama.

Namun niat baik nggak cukup sampai niat saja. Akhirnya bongkar baju baju yang masih 'baru' tapi jarang (ada yang tak pernah) dipakai. Juga baju sehari-hari yang sering dipakai, yang notabene aku sayang banget. Kata orang, kalo mau ngasih sesuatu sama orang, ya yang kamu sayang.... karena yang aku sayang udah baju bekas, sablonannyapun udah mulai memudar, untuk mengimbanginya ya... baju bagus tapi jarang dipakai tadi. Tapi menurutku intinya ya.. kita harus ikhlas. Akhirnya setumpuk baju terkirimkan juga ke korban gempa.

berikutnya, temen-temen alumni kuliahan dulu, yang aktif di milis menggalang dana buat temen yang kebetulan (atau kesalahan?) rumahnya di bantul dan menjadi korban gempa. Sayangnya bantuan hanya berupa uang.

sepatu

akhirnya kesampean juga ngajak sikecil ke ugm minggu pagi kemaren. ternyata lumayan lama juga gak kesana. dengan sepatu yang udah mulai kesempitan kayaknya membuatnya gak nyaman. jadinya agak males buat jalan. selebihnya hanya membelikan rok sikecil, sisa ekspor ato apalah... yang pasti udah kotor, dan ada cacat dikit-dikit. lha wong ya cuman lima ribuan. ah setidaknya masih bisa dicuci bersih, ato dijahit dikit.

21.6.06

uang sekolah

soal pendidikan anak, pengennya bisa didik anak dengan baek. nggak harus sekolah yang mahal. toh esensi pendidikan bukan itu.

soal peendidikan, kok saya punya pandangan subyektif kayak gini:
1. biaya sekolah cenderung naik, baik negeri maupun swasta
2. sekolah yang berkualitas biayanya mahal
3. tidak semua orang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah berkualitas
4. sekolah berkualitas bisa menyeleksi siswa yang masuk
5. banyak anak pinter (dan mampu, atau nggak pinter tapi mampu banget)yang masuk sekolah berkualitas
6. sekolah berkualitas menghasilkan lulusan yang berkualitas.
7. anak yang nggak pinter dan nggak mampu, tidak bisa sekolah di sekolah mahal
8. anak pinter tapi gak mampu juga sering bernasib sama
9. jadi yang pinter tambah pinter, yang nggak ya semakin parah
(*jadi ngebayangin generasi anak cucu kita...)

pilihan

saat cobaan dan godaan itu datang bertubi. disaat pilihannya terlalu mudah untuk membungkam nurani. aku memilih untuk mendengarkannya. meski mungkin lirih. meski mungkin itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan, namun setidaknya itu bukan dosa.

kabut gelap

ketika semua jadi gelap. percayakan pda kata hati untuk melangkah. memang tidak ada jaminan kita tidak akan tersanndung atau terperosok lebih dalam. jika diam menunggu bukanlah pilihan, maka segala konsekuensi harus disadari.

15.6.06

sikecil

Si kecil cepat tumbuh
Sepatunya sudah tidak muat lagi
Bajunya sudah keliatan mini
Untunglah sekarang jarang pergi

Sabarlah nak...

where?

where are my my jazzin days?

12.6.06

pak tua

pak tua, sudahlah.

8.6.06

halah!

aku ini ya masih manusia biasa. yang juga pengen punya powerbook atau iPod.

6.6.06

mannfaatnya apa?

Waktu dikampung dulu, di hari tertentu (biasanya malem Jumat), sering diadakan pengajian ibu-ibu. Sekalian bersilaturahim, bergiliran menyelenggarakan kegiatan tersebut. Dengan jamuan seadanya (terkadang secara patungan), mereka khusyuk mendengarkan ustadz memberikan ceramahnya.
Hal yang sama juga terjadi di kota. Pengajian, majelis ta'lim, atau apalah namanya, tetap ada ditengah hiruk pikuk kehidupan 'dunia' (meski kalau diperhatikan yang ikut biasanya ibu-ibu, gak ada remaja putrinya..). Kegiatan tersebut jelas-jelas bertujuan mulia, menambah pengetahuan, sambil mendapat pahala.
Yang sedikit menggelitik saya adalah bagaimana kegiatan itu berkembang (sebagaimana yang saya lihat, dan saya tidak men-generalisir kondisi ini). Sekarang, jamuan menempati porsi yang cukup dominan. Menjadi tuan rumah sepertinya menjadi prestise tersendiri. Minimal jangan sampai malu-maluin, jangan sampai kalah sama yang lain. Untuk itu Tuan rumah mesti nyiapin segala sesuatunya. Makan, minum, snack... sampai-sampai gak konsen (bahkan gak ikut) mendengarkan ceramah ustadz, karena sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Trus esensinya mana? Makannya atau ceramahnya, hikmahnya..?

+++
Sebagai akibatnya, karena kecapean, bawaannya gampang naek darah. Pengajian bukannya tambah sabar, dapat hikmah, malah dapetnya marah....

3.6.06

kalau Tuhan mau

Kalau Tuhan mau, kita bisa apa.

Ya, kejadian ini meninggalkan perasaan yang mendalam bagi yang mengalaminya. Yang mungkin kita coba untuk mengungkapkan,untuk sekedar berbagi, untuk meringankan beban kita. Tapi mungkin itu belum semua... beberapa akan tinggal dalam diri kita, selamanya, tak pernah terungkapkan. Entah itu trauma, ketakutan, hikmah, pencerahan dan entah apa lagi.
Apapun itu, semoga membuat kita lebih bijak, lebih baik, dan bermanfaat bagi sesama.